***
MALAYSIAalyaum: Kewajiban Memberi Nafkah Zahir

Halaman

Kewajiban Memberi Nafkah Zahir

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Apabila gerbang perkahwinan sudah dilalui, maka suami dan isteri haruslah saling memahami kewajiban-kewajiban dan hak masing-masing, agar tercapai keseimbangan dan keserasian dalam membina rumah tangga yang harmoni.

Di antara kewajiban-kewajiban dan hak-hak tersebut adalah seperti yang tersurat dalam sabda Nabi Sallallaahu ‘alaihi wa sallam, dari Sahabat Mu’awiyah bin Haidah bin Mu’awiyah al-Qusyairi radhiyallaahu ‘anhu bahwasanya dia bertanya kepada Rasulullah Sallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, apakah dia hak seorang isteri yang mesti dipenuhi oleh suaminya?” Maka Rasulullah Sallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

1. Engkau memberinya makan apabila engkau makan,
2. Engkau memberinya pakaian apabila engkau berpakaian,
3. Janganlah engkau memukul wajahnya,
4. Janganlah engkau memburuk-burukkannya (menghinanya), dan
5. Janganlah engkau meninggalkannya melainkan di dalam rumah (iaitu jangan berpisah tempat tidur melainkan di dalam rumah).”

ENGKAU MEMBERINYA MAKAN APABILA ENGKAU MAKAN

Memberi makan merupakan istilah lain dari memberi nafkah. Memberi nafkah ini telah diwajibkan ketika sang suami akan melaksanakan ‘aqad nikah, yaitu dalam bentuk mahar, seperti yg tersurat dalam Al-Qur’an, surat al-Baqarah ayat 233.

Allah berfirman

"Ertinya: …Dan kewajiban si ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang itu tidaklah dibebani lebih dari kemampuannya.” (Al-Baqarah: 233)

Bahkan ketika terjadi perceraian, suami masih berkewajiban memberikan nafkah kepada isterinya selama masih dalam masa ‘iddahnya dan nafkah untuk menguruskan anak-anaknya. Barangsiapa yang hidupnya sekadar cukup makan, dia tetap wajib memberikan nafkah menurut kemampuannya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
"ertinya: …Dan orang yang terbatas rizkinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (At-Thalaq: 7)

Ayat yang mulia ini menunjukkan kewajiban seseorang untuk memberikan nafkah, meskipun ia dalam keadaan serba kekurangan, tentunya hal ini disesuaikan dengan kadar rezeki yang telah Allah berikan kepada dirinya.

Berdasarkan ayat ini pula, memberikan nafkah kepada isteri hukumnya adalah wajib. Sehingga dalam mencari nafkah, seseorang tidak boleh bermalas-malasan dan tidak boleh bergantung hidup kepada orang lain serta tidak boleh meminta-minta kepada orang lain agar memberikan nafkah kepada isteri dan anaknya. Sebagai ketua rumah tangga, seorang suami harus memiliki usaha dan bekerja dengan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuannya.

Perbuatan meminta-minta menurut Islam adalah perbuatan yg sangat hina dan tercela. Hatta burung sekalipun, yang diciptakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla tidak sesempurna manusia yang dilengkapi dg kemampuan berpikir dan tenaga yang jauh lebih besar, tidak pernah meminta-minta untuk mencari makan dan memenuhi keperluannya. Ia terbang pada pagi hari dalam keadaan perutnya kosong, dan kembali ke sarangnya pada waktu petang dengan perut yang telah kenyang. Demikianlah yang dilakukannya setiap hari, meskipun hanya berbekalkan sayap dan paruhnya sahaja.

Dalam mencari rezeki, seseorang hendaknya berikhtiar (melakukan usaha) terlebih dahulu, kemudian bertawakkal (menggantungkan harapan) hanya kepada Allah, sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah Sallallaahu ‘alaihi wa sallam.

"mafhumnya: Seandainya kamu sekelian bertawakkal kepada Allah dengan bersungguh-sungguh, maka sesungguhnya kamu akan diberikan rezeki oleh Allah, sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung. Di pagi hari, burung itu keluar dalam keadaan kosong perutnya, kemudian pulang di waktu petang dalam keadaan kenyang.”

Seorang suami juga harus memastikan (bahawa ia membawa pulang) rezeki-rezeki yang halal dan tayyibah, untuk diberikan kepada isteri dan anaknya. Bukan dengan cara-cara yang dicela dan dilarang oleh syari’at Islam yang mulia. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan menerima dari sesuatu sumber yang haram.

Rasulullah Sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"mafhumnya: Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik (juga). Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada Rasul. Maka, Allah berfirman: ’Wahai PRasul, makanlah dari makanan yg baik-baik, dan kerjakanlah amal yang salih." (Al-Mukminuun: 51)

Dan Allah Ta’ala berfirman.
"mafhumnya: Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian." (Al-Baqarah: 172)

Kemudian Rasulullah Sallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang yang lama bermusafir; rambutnya kusut berdebu, dan menadahkan kedua tangannya ke langit seraya menyeru, ‘Yaa Rabb-ku, yaa Rabb-ku,’ padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dipenuhi keperluan dengan yang haram, bagaimana do’anya akan dimakbulkan?”

Nafkah yang diberikan sang suami kepada isterinya, lebih besar nilainya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dibandingkan dengan harta yang diinfaqkan (meskipun) di jalan Allah ‘Azza wa Jalla, atau diinfaqkan kepada orang miskin, atau untuk memerdekakan seorang hamba sahaya.

Rasulullah Sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"mafhumnya: (Antara) wang yang engkau infaqkan di jalan Allah, wang yang engkau infaqkan untuk memerdekakan seorang hamba (abdi), wang yang engkau infaqkan untuk orang miskin, dan wang yang engkau infaqkan untuk keluargamu, maka yang lebih besar ganjarannya adalah wang yang engkau infaqkan kepada keluargamu.”

Setiap yang dinafkahkan oleh seorang suami kepada isterinya akan diberikan ganjaran oleh Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana sabda Rasulullah Sallallaahu ‘alaihi wa sallam:
"Mafhumnya: …Dan sesungguhnya, tidaklah engkau menafkahkan sesuatu dengan niat untuk mencari wajah (yakni keredhaan) Allah, melainkan engkau diberi pahala dengannya, sehinggakan apa yang engkau suapkan ke mulut isterimu akan mendapat ganjaran.”

Seorang suami yang tidak memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya, maka ia berdosa. Nabi Sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Mafhumnya: Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang wajib ia beri makan (tanggungan yang wajib diberi nafkah).”

(Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006)
___ Foote Note
. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2142), Ibnu Majah (no. 1850), Ahmad (IV/447, V/3, 5), Ibnu Hibban (no. 1286, al-Mawaarid), al-Baihaqi (VII/295, 305, 466-467), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (IX/159-160), & an-Nasa'i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 289) & dalam Tafsiir an-Nasa'i (no. 124). Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim & disetujui oleh adz-Dzahabi.
. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2344), Ahmad (I/30), Ibnu Majah (no. 4164), at-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dishahihkan juga oleh al-Hakim (IV/318), dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu.
. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1015), at-Tirmidzi (no. 2989), Ahmad (II/328) & ad-Darimi (II/300), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 995), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1295) & Muslim (no. 1628), dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallaahu ‘anhu.
. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1692), dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Sunan Abi Dawud (V/376, no. 1485).
Penulis: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas & diterbitkan oleh almanhaj.or.id

(sumber: http://www.akhlakislam.com/hak-isteri-yang-harus-dipenuhi-suami-mem...)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...